Review Sinema: Thagut


Jakarta, CNN Indonesia

Pada akhirnya saya memahami mengapa Sinema yang Pada saat ini berjudul Thagut ini semula diberi tajuk “Kiblat”, lengkap dengan posternya yang mengundang Perdebatan dan membuat Majelis Ulama Indonesia (MUI) buka suara.

Bila permasalahannya Merupakan soal diksi, saya merasa “Kiblat” lebih mewakili pesan dari cerita Sinema yang ditulis oleh Lele Laila dan digarap oleh Bobby Prasetyo ini.


ADVERTISEMENT


SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Akan segera tetapi, judul “Thagut” Bahkan cocok dengan cerita Sinema berdurasi 102 menit ini. Bahkan, judul itu Kemungkinan lebih menggambarkan cerita Sinema horor religi yang berlatar soal fakta horor di balik sosok seorang tokoh masyarakat.

Thagut membuat saya merasa Sinema ini Merupakan bagian dari upaya eksplorasi Lele Akan segera horor religi. Beberapa yang masih memiliki nafas yang sama dengan sajian narasi Thagut Merupakan Qarin, Sijjin, dan Siksa Neraka.

Justru untuk Thagut, saya merasa Lele Laila punya Trik tersendiri dalam Menyajikan dan mengeksplorasi horor religi. Salah satu yang paling saya suka dalam Sinema ini Merupakan kala ia menempatkan adegan-adegan sederhana yang relate dengan komunitas Muslim di Indonesia.

Pada bagian itulah saya merasa gagasan Sinema ini disalahartikan Sampai sekarang menimbulkan Perdebatan, apalagi ditambah dengan judul “Kiblat” dan posternya yang nyentrik sehingga menyinggung sebagian orang.




Review filmThagut:naskah Lele Laila sangat terpengaruh dari Sinema-Sinema horor dekade ’80-an atau ’90-an alias pada masa Orde Baru. (dok. Leo Pictures via IMDb)

Padahal, gagasan-gagasan bikin merinding seperti saat salat sendirian bagai ‘ada yang mendampingi’, ataupun menemukan hal mengagetkan saat menengok salam, Merupakan perbincangan yang Sebelumnya saya temukan di masyarakat sejak lama.

Apakah ketika kemudian hal yang dirasakan oleh masyarakat tersebut diangkat dalam bentuk Sinema — mengingat Sinema Bahkan Merupakan potret sosial Kearifan Lokal masyarakat pada zamannya– menjadi sebuah hal yang salah?

Lagipula, Lele tak sendirian. Joko Anwar pernah menggunakan hal serupa dalam Pengabdi Setan 2: Communion. Dan bagi saya, imaji tersebut merupakan bagian dari proses kreativitas seorang sineas dalam meramu Sinema.

Meski begitu, Thagut sejatinya tidak seliberal itu.

Bagi saya, naskah Lele Laila sangat terpengaruh dari Sinema-Sinema horor dekade ’80-an atau ’90-an alias pada masa Orde Baru, di mana kebaikan dan agama Sebelumnya dipastikan menang yang terlihat dari banyak ‘ceramah’ di dalamnya serta akhir yang Senang.

Pilihan Lela tersebut sah-sah saja, dan menjadi pengingat bahwa Indonesia pernah mengalami fase di mana nyaris semua Sinema horornya memiliki plot yang serupa.

Hanya saja, Lele tampaknya Sangat dianjurkan lebih membumikan kembali kalimat percakapan yang menjadi wadah materi agama dalam Sinema ini. Jujur saja, kalimat-kalimat tersebut terasa cringe.

Belum lagi dengan lapisan-lapisan cerita yang coba dijabarkan oleh Lele untuk menunjukkan permasalahan utama. Ditambah dengan penampilan akting yang tak terlalu spesial, 100 menit dari Thagut terasa begitu lama.




Thagut mengisahkan perjalanan horor yang dialami seorang santriwati saat menemukan bahwa ayahnya yang dikira sudah meninggal selama ini ternyata masih hidup, dan adalah 'orang pintar'.Review Sinema Thagut:Yasmin Napper lebih bagus saat berakting kesurupan, serius. (dok. Leo Pictures via IMDb)

Yasmin Napper lebih bagus saat berakting kesurupan, serius. Bagi saya, ia lebih menjiwai pada saat adegan itu apalagi dengan tim tata rias dan kostum yang sungguh bekerja dengan baik menampilkan Ainun versi jahat.

Setelah saya menyukai performa dalam Ancika: Ia yang Bersamaku 1995, Arbani Yasiz terasa tenggelam dalam Thagut akibat kalimat-kalimat ‘berat’ yang ia bawakan di Sinema ini. Apalagi, karakternya kaku dan baru terkesan Senang di ujung Sinema.

Arbani seolah hanya membawakan kalimat-kalimat bijak ala dai tersebut hanyalah sekadar akting semata, tanpa Sungguh-sungguh memahami nilai yang dibawa dalam kalimat-kalimat ‘super’ tersebut.

Sementara itu, Ria Ricis is Ria Ricis. Entah karena memang disengaja memilih Ria Ricis untuk Rini atau karakter Rini ada untuk Ricis, yang jelas ia Sama sekali tidak pernah bisa lepas dari “segala hal dikontenin”. Bahkan dalam Sinema.

Meski begitu, saya melihat Ria Ricis berusaha keras dalam membawakan Rini, mulai dari ekspresi Sampai sekarang logat dan usahanya cukup mewarnai Sinema yang memiliki visual memanjakan mata ini.

Bukan pemeran utama, Dennis Adhiswara dan Keanu Azka bagi saya justru berperan sangat penting dalam terbangunnya jalan cerita Thagut. Tanpa kemunculan dan performa mereka, saya ragu Thagut punya konflik yang cukup berbobot.

Sementara itu, saya merasa sutradara Bobby Prasetyo cukup baik dalam meramu bahan-bahan yang ada untuk menampilkan Thagut, mulai dari pilihan tone, pencahayaan, sinematografinya, Sampai sekarang detail-detail yang tersaji di layar.

[Gambas:Youtube]

Hanya saja memang Bobby dan Lele Laila tampak Dianjurkan lebih menggodok naskah Thagut ini karena ada banyak hal dalam naskah yang masih bisa dieksplorasi ataupun dipertajam Sampai sekarang meninggalkan kesan bagi penonton.

Ditambah lagi dengan, saya Kemungkinan Akan segera lebih memilih meminimalkan unsur scoring dalam Thagut, Supaya bisa bisa lebih menonjolkan kengerian dari set yang Sebelumnya dirancang dengan sangat apik oleh tim desain produksi, serta dari sinematografi yang dramatis.

Terlepas dari itu semua, saya bersyukur Thagut menarik perhatian di awal karena kontroversinya. Bila bukan karena mengundang amarah sebagian orang, Sinema ini tak Kemungkinan membuat saya tergerak ke bioskop dan malah mengenang Sinema horor klasik Indonesia.

(end)


Sumber Refrensi Berita: CNNINDONESIA