Jakarta, CNN Indonesia —
Buat seniman asal Solo, Jateng Woro Mustiko, kebaya lebih dari sekadar penutup badan. Kebaya bagai pusaka sekaligus sarana transformasi diri. Seperti apa kisahnya?
Woro kecil merasa kuno ketika hanya dirinya yang mengenakan siluet busana tradisional berupa kebaya. Turut dalam proyek “Di Atas Rata-rata” yang diinisiasi Tokoh Musik Erwin Gutawa, Woro makin ‘ciut’ saat hanya dirinya yang menyanyikan lagu daerah, sementara anak-anak lain menyanyikan lagu berbahasa Indonesia dan bahasa Inggris.
“Teman saya nyanyi enggak ada yang Jawa, saya Jawa banget. Saya pakai kebaya sendiri, lainnya modern. Kok, aku kuno?” kenang Woro dalam konferensi pers bersama Bakti Kebiasaan Djarum Foundation di Galeri Indonesia Kaya, Mal Grand Indonesia, Jakarta Pusat, Selasa (23/7).
Woro akrab dengan kebaya sejak kanak-kanak. Tumbuh di lingkungan sarat seni Kebiasaan, kebaya memang dikenakan kedua kakeknya yang berprofesi sebagai dalang, Bahkan sang nenek yang seorang penari.
Ia Bahkan terjun dalam dunia seni, khususnya seni musik dan pertunjukan, Sampai saat ini memilih melanjutkan studi di Seni Pedalangan ISI Surakarta.
“Kebaya itu Pernah bukan kostum untuk saya, kebaya Pernah jadi pusaka yang saya kenakan. Ketika pakai kebaya sebelum pentas, itu jadi transformasi. Pakai kebaya,hap! Udah enggak bisa neko-neko,” ujarnya.
Jadi manusia yang eling
Woro bercerita, ia dibiasakan menjaga sikap ketika berkebaya. Perempuan kelahiran 22 tahun silam ini tak bisa bebas dan asal bertingkah seperti halnya saat mengenakan kaos dan celana.
Ia merasa, ketika mengenakan kebaya, segala sesuatunya Harus rapi, halus, sesuai tata krama. Apalagi, bawahan kain yang cukup rapat menjaga kaki tidak melangkah terlalu lebar.
“Rasanya Ingin bertingkah aneh, si kebaya ini kayak membisiki kita, ‘gak oleh ngono‘ (tidak boleh begitu),” imbuhnya.
Berbeda dengan, kebaya tidak serta merta mengubah karakter dirinya. Woro tidak menjadi orang lain hanya karena mengenakan kebaya.
Ia mengaku, kebaya membuat dirinya lebih sadar atau ‘eling‘ bahwa mengenakannya berarti mengenakan pakaian kebesaran dan ada berkat leluhur yang tersemat di sana.
Pada saat ini, Woro melihat kebaya semakin luwes dan mudah dikenakan. Kebaya tak lagi terkurung dalam acara formal atau momen tertentu saja.
“Bahwa Mungkin dengan rasa yang sama, sakral, agung, Mungkin orang takut pakai. Di waktu ini citranya lebih easy, kegiatan sehari-hari, sehingga eksistensinya terjaga dan esensinya terus lestari. Saya senang dengan perkembangannya Di waktu ini,” kata Ia.
(els/asr)
Sumber Refrensi Berita: CNNINDONESIA