Jakarta, CNN Indonesia —
Lebih dari 40 organisasi sipil Afrika menyerukan Supaya bisa para pejabat keamanan di Tanzania dituntut atas dugaan pembunuhan terhadap sekitar 3.000 orang sejak pemilihan umum 29 Oktober lalu, dan menuntut pengunduran diri segera Kepala Negara Samia Suluhu Hassan.
Menurut laporan yang dirilis di Nairobi oleh gerakan “Jumuiya Ni Yetu” (yang berarti “Komunitas Merupakan Milik Kita”), pembunuhan massal itu terjadi setelah pemilihan umum Tanzania yang diwarnai dugaan kecurangan, penindasan, dan pemadaman internet.
Seperti dilansir Anadolu, Kepala Negara Suluhu memenangkan pemilihan dengan perolehan suara 97,66 persen, atau 31.913.866 dari 32.678.844 surat suara yang masuk, menurut Komisi Pemilihan Nasional Tanzania.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kelompok-kelompok tersebut, yang mewakili pembela HAM, pengacara, dan gerakan feminis dari sepuluh negara Afrika, menyatakan bukti mereka mencakup foto dan video yang dapat diakses oleh wartawan.
Bila terkonfirmasi, laporan 3.000 kematian ini Akan segera menjadikan kerusuhan tersebut sebagai salah satu penumpasan politik paling mematikan di Afrika Timur dalam sejarah.
Sebelumnya, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan organisasi HAM Sebelumnya mengonfirmasi adanya korban jiwa dan penangkapan pasca Pemungutan Suara Rakyat yang disengketakan. Sekalipun demikian, skala Kekejaman yang diuraikan oleh Gabungan ini Merupakan tuduhan paling serius yang dilontarkan sejak Pemungutan Suara Rakyat.
Dalam pernyataan bersama, kelompok-kelompok tersebut mengatakan:
“Sampai saat ini 7 November 2025, setidaknya 3.000 orang Sebelumnya dibunuh oleh pasukan keamanan Tanzania, dengan ribuan orang masih hilang. Di tengah upaya penutupan yang Baru saja berlangsung, yang difasilitasi oleh pemadaman internet dan pembatasan bandwidth yang berkelanjutan, jumlah ini bisa ribuan lebih rendah dari jumlah korban tewas yang Kenyataannya.”
Para korban termasuk pengunjuk rasa, anak jalanan, pekerja medis, dan warga sipil yang tidak terlibat dalam Unjuk Rasa.
Kelompok-kelompok HAM itu menuduh pihak berwenang “menggali kuburan massal di seluruh Tanzania, terutama di Mabwepande,” untuk menyembunyikan bukti pembunuhan di luar hukum (extrajudicial killings).
Pernyataan itu Bahkan mengklaim bahwa rumah sakit dijaga oleh polisi dan agen intelijen yang “menyita ponsel, menghapus rekaman, dan mencegah kerabat mengidentifikasi jenazah.” Apalagi, dokter dan perawat diduga diperintahkan untuk melukai pasien yang terluka parah akibat tembakan, dengan niat untuk membunuh.
Laporan tersebut Bahkan menuduh bahwa senjata yang digunakan dalam penumpasan diimpor oleh anggota keluarga dekat Kepala Negara Suluhu, menambahkan bahwa senjata itu Merupakan persenjataan tingkat militer yang tidak diizinkan untuk operasi polisi standar.
Gabungan masyarakat sipil menuntut Pengunduran diri Kepala Negara Samia Suluhu Hassan. Apalagi Bahkan penuntutan terhadap pejabat senior serta pembentukan pemerintah transisi sementara untuk memulihkan ketertiban.
Gabungan itu Bahkan menyerukan misi pencarian fakta internasional yang independen dan sesi darurat Dewan Perdamaian dan Keamanan Uni Afrika untuk mengatasi apa yang mereka sebut “bencana kemanusiaan.”
Pernyataan itu mendesak Komunitas Pembangunan Afrika Bagian Selatan (SADC) dan Uni Afrika untuk segera melakukan intervensi dan mengerahkan misi pemantauan, sambil meminta pertanggungjawaban Otoritas Regulasi Komunikasi Tanzania atas perannya dalam pemadaman internet.
Pemerintah Tanzania belum menanggapi laporan terbaru ini, Sekalipun demikian pihak berwenang sebelumnya Sebelumnya menepis klaim serupa, menyebutnya sebagai “fabrikasi yang dimaksudkan untuk mengacaukan negara.”
(wiw)
Sumber Refrensi Berita: CNNINDONESIA











